Adinda Ismaya

Malam datang membawa sunyi. Dalam temaram cahaya lampu kamar, suara ibu mengalun pelan, mengisahkan cerita yang telah turun-temurun diceritakan.

Ia tidak sekadar merangkai kata. Setiap kalimat yang meluncur adalah jembatan yang menghubungkan hati.

Cerita rakyat bukan hanya dongeng pengantar tidur, bukan sekadar kisah tentang raksasa, putri cantik, atau burung ajaib. Ia adalah nyala kecil yang menghangatkan hubungan ibu dan anak, yang menjadikan sebuah kamar sederhana sebagai tempat lahirnya kenangan yang tak akan pudar.

Tengoklah cerita asal usul padi dari Karo, mengisahkan tentang bersatunya kembali ibu dan anaknya. konon katanya, dahulu di Tanah Karo, terjadi kekeringan yang berkepanjangan. Seorang ibu kehilangan anaknya yang kian kering kerontang. tak tahan dengan kesedihan, ia mengakhiri hidupnya, terjun ke sungai. Fase bulan terulang kembali, dua anak yang sedang bermain di lapangan luas menemukan sebuah tanaman bulat. tak ada yang tahu, dibawanya ke sang raja. Lalu dari langit, sebuah ilham berseru, mengakui bahwa buah bundar ini ialah reinkarnasi dari sang anak yang meninggal. turunlah perintah untuk menanamnya, dan memakannya dengan ikan, untuk mempertemukan kembali dirinya dengan ibunya, yang sudah bereinkarnasi menjadi ikan di sungai.

Ibu yang bercerita, anak yang mendengarkan. Terkadang, tangan kecil menggenggam jemari ibu, atau kepala bersandar di pangkuannya. Ada kehangatan, ada kasih yang mengalir tanpa perlu diucapkan.

Seperti ikan yang bertemu kembali dengan padi yang sudah menjadi nasi, ikatan batin seorang anak dan ibu tak akan pernah terpisah.

Dan pada akhirnya, kebaikan cerita rakyat adalah mendekatkan jiwa. Ia membuat kita lebih dekat dengan ibu, dengan akar budaya kita, dan dengan diri kita sendiri.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top