Nur adindah

Di bawah langit senja yang membara, seorang pria bertubuh kekar duduk megah di atas singgasananya, mengenakan mahkota emas yang berkilau. Ia adalah Bandung Bondowoso, pangeran sakti yang jatuh hati pada Roro Jonggrang, putri dari kerajaan yang telah ia taklukkan. Tatapan matanya tajam, penuh kewibawaan dan keangkuhan, mencerminkan kekuatan yang dimilikinya.

Di pangkuannya, seorang wanita cantik mengenakan gaun merah bersimpuh dengan ekspresi penuh duka. Matanya tertutup, seolah menutupi kesedihan dan keputusasaan yang ia rasakan. Dia adalah Roro Jonggrang, putri yang terpaksa menerima lamaran pria yang telah menghancurkan kerajaannya. Tangan mereka saling menggenggam, tetapi bukan dengan kehangatan, melainkan ketegangan yang tersirat di antara mereka.

Di balik mereka, berdiri megah Candi Prambanan, saksi bisu dari kisah cinta, pengkhianatan, dan kutukan. Batu-batu hitamnya menyimpan sejarah kelam—sebuah candi yang seharusnya menjadi bukti cinta, namun justru menjadi monumen keabadian dari dendam dan keputusasaan. Senja yang membalut langit mencerminkan takdir keduanya: keindahan yang berujung pada kegelapan.

Ilustrasi ini menggambarkan momen dramatis antara Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang, ketika cinta dan kebencian bertaut dalam takdir yang tak dapat dihindari. Kisah ini bukan hanya tentang romansa, tetapi juga tentang kekuatan, keteguhan, dan harga yang harus dibayar atas pengkhianatan. Candi Prambanan tetap berdiri, menjadi pengingat abadi tentang bagaimana seorang putri menjelma menjadi batu demi menghindari takdir yang tidak diinginkannya.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top