Di pangkuan semesta, Ibu Pertiwi terduduk anggun, rambutnya menjuntai bak sulur dedaunan yang menari bersama angin.
Di tangannya, seekor cenderawasih bertengger, matanya memantulkan kilau fajar—seolah membawa pesan dari langit bahwa harapan masih bersemi. Di sekelilingnya, putra-putri negeri berdiri dalam bakti. Ada yang menanam benih, menitipkan kehidupan pada tanah yang haus akan hijau. Ada yang membasuh sungai, mengangkat luka yang lama mengendap di arusnya. Tangan mereka kotor, tetapi hati mereka bening, penuh dengan janji untuk menjaga.
Dan Ibu Pertiwi tersenyum, bukan dengan kata-kata, melainkan dalam bisik dedaunan yang merintih lega, dalam gemercik air yang kembali jernih, dalam nyanyian burung yang terbang bebas di cakrawala. Ia tak meminta lebih, hanya kasih yang tak henti, hanya bakti yang tulus—agar bumi tetap bernapas, agar alam tetap memeluk manusia dengan cinta yang tak terbatas.