“Si Leungli”
Pada jaman dahulu kala di pedalaman Sunda, tersebutlah 7 perempuan bersaudara yatim piatu yang harus menghidupi diri sendiri dengan bekerja apa saja. Ketika si adik bungsu mulai tumbuh besar, keenam kakaknya mulai keterlaluan dan kasar. Hampir seluruh pekerjaan akan dibebankan kepada sang adik yang bernama Nyi Bungsu Rarang.
Nyi Bungsu yang seringkali harus menyendiri karena tak ‘dianggap’ oleh kakak-kakaknya, kerap tertidur di pinggir sungai. Hingga suatu ketika seekor ikan mas ajaib menghampiri dirinya yang tampak kelelahan, dan ia mengenalkan dirinya sebagai Leungli.
Setiap hari, mereka menghabiskan waktu bersama, bermain dan berbicara. Kedekatan mereka semakin erat, dan Nyi Bungsu merasa bahagia memiliki teman sejati seperti Leungli.
Nyi Bungsu yang lebih bahagia membuat penasaran keenam kakaknya. Akhirnya mereka menemukan tempat persembunyian Leungli dan menangkapnya, lalu memasaknya sebagai lauk santap malam.
Mengetahui sahabatnya telah menjadi seonggok tulang belulang, Nyi Bungsu Rarang sedih tak terkira. Dengan penuh rasa kehilangan potongan tulang si Leungli dia kubur di samping rumah dan setiap hari dia menangisi sahabatnya.
Dari balik tanah pusara yang kerap basah oleh air mata Nyi Bungsu Rarang itu tumbuh sebuah pohon berdaun emas dan berbuah permata. Namun hanya Nyi Bungsu Rarang yang dapat memetiknya, jika orang lain memetiknya maka daun emas dan buah permata itu berubah menjadi debu dan lenyap tanpa jejak.
Kabar tentang pohon emas ajaib ini akhirnya sampai ke keraton, dan membuat Pangeran Putra Mahkota penasaran. Pangeran ingin melihat pohon ajaib itu sendiri. Ketika ia datang dan bertemu Nyi Bungsu Rarang, mereka jatuh cinta lalu Pangeran segera menikahinya, dan mereka pun hidup bahagia selamanya.
Moral kebaikan dari cerita ini adalah untuk tetap menjadi orang yang baik & tulus terhadap semua makhluk, termasuk terhadap binatang… niscaya akan berbuah kebaikan dan keberuntungan dikemudian hari.