Karya ini menggambarkan tentang Dewi Sri yang sedang memberkati hasil panen padi. Dalam kisahnya pada Wawacan Sulanjana, Dewi Sri terlahir dari telur mustika Dewa Antara yang dipersembahkan untuk Batara Guru sang penguasa kahyangan. Singkat cerita, ayahnya (Batara Guru) jatuh cinta kepada Dewi Sri. Mengetahui hal itu, para dewa akhirnya meracuni Dewi Sri demi menjaga kesuciannya dan kesejahteraan rumah tangga penguasa kahyangan. Tubuh Dewi Sri dibawa ke bumi dan diletakkan di tempat yang jauh. Setelah dikubur, keajaiban terjadi dari tubuh Dewi Sri. Seperti yang digambarkan pada karya ini, rerumputan dan bunga tumbuh dari rambut Dewi Sri. Kemudian, padi juga muncul dari tubuh Dewi Sri. Sejak saat itu masyarakat Jawa dan Sunda mulai memuja, memuliakan, serta mencintai Dewi Sri dengan melaksanakan ritual Mapag Sri. Hasil panen padi terbaik yang sudah dibersihkan dan sesajen berupa buah-buahan serta rempah-rempah diberikan sebagai bentuk rasa syukur masyarakat kepada Dewi Sri.
Kisah ini mengandung dua hal penting, yaitu padi yang mewakili alam dan Dewi Sri sebagai simbolisasi atas perempuan (sekaligus padi). Kegiatan penghormatan Dewi Sri pada ritual Mapag Sri memiliki keterkaitan dengan pandangan ecological feminists atau ecofeminists (ekofeminis) karena adanya hubungan penting antara perempuan dengan alam. Hal ini disebabkan oleh karena peran biologis perempuan untuk“melahirkan” dianggap memiliki kesamaan dengan alam. Mapag Sri menjadi sebuah perayaan terhadap keberhasilan atau kesuburan Dewi Sri dalam melahirkan atau memberikan padi.
Posisi Dewi Sri yang memegang padi merepresentasikan dirinya sedang memberkati hasil panen dari masyarakat dan sebagai bentuk kasih sayang perempuan khususnya ibu kepada anaknya. Dewi Sri dengan badannya yang tertutup oleh padi-padi merepresentasikan padi yang tumbuh dari tubuhnya setelah ia dikubur. Selain itu, ujung rambut Dewi Sri yang berubah menjadi rumput-rumput menggambarkan rerumputan dan bunga-bunga yang muncul dari rambutnya setelah dikubur. Senyuman Dewi Sri menggambarkan wataknya yang ramah dan lembut kepada masyarakat. Warna pakaian yang digunakan Dewi Sri adalah putih karena bertujuan untuk memberikan kesan kesucian, kelembutan, dan ketenangan. Ilustrasi sesajen diletakkan di depan Dewi Sri yang sedang memegang padi memiki tujuan sebagai representasi persembahan yang diberikan oleh masyarakat kepadanya. Latar belakang menggunakan Batik Mega Mendung dan Gunung Ciremai untuk memperjelas bahwa daerah yang digunakan berasal dari Jawa Barat. Sawah yang berada di belakang Dewi Sri bertujuan untuk menjelaskan bahwa ritual Mapag Sri dilakukan di sawah.