Elegi Rimba
Di jantung rimba yang berbisik dalam bahasa angin, alam melukiskan eleginya sendiri, sebuah nyanyian tentang harmoni yang kian rapuh, namun masih menggema dalam setiap hela napas bumi. “Elegi Rimba” adalah ungkapan perenungan tentang keindahan hutan yang agung, namun perlahan menghadapi ancaman. Adalah ungkapan simponi yang megah, tetapi juga melankolis, karena keseimbangannya tak selamanya terjaga. Di sinilah kebaikan alam Indonesia terwujud, dalam keseimbangan antara makhluk-makhluk yang menjadikannya rumah.
Di tepi sungai, Pesut Mahakam muncul ke permukaan, membiarkan percikan air menari di udara. Tepat di seberangnya, Harimau Sumatera berdiri kokoh, matanya tajam namun penuh perenungan. Keduanya bertatapan, seolah mengisyaratkan keseimbangan yang harus terus dijaga antara darat dan air, antara kekuatan dan kelembutan.
Di atas batang pohon besar yang tumbang, menjembatani sungai yang beriak tenang, Domba Garut berdiri gagah, tubuhnya mencerminkan ketangguhan alam pegunungan. Di kelilinginya Cendrawasih yang sedang menari di udara, kepakan sayapnya membentuk lengkung cahaya, menghadirkan keindahan yang tak tersentuh waktu.
Dari rerimbunan pepohonan, Orangutan mengangkat daun besar, menangkupkannya seperti payung untuk menahan percikan air yang dikirimkan oleh pesut. Gerakannya perlahan, seakan memahami ritme alam yang tak pernah terburu-buru. Tak jauh darinya, di antara dahan besar yang menjulur ke sungai, Ular Sanca Batik melingkar dalam ketenangan, sisiknya berkilauan bak ukiran yang terukir di dinding hutan.
Setiap hewan dalam ilustrasi ini bukan sekedar penghuni rimba, tetapi juga pelaku dalam elegi yang terus ada di alam. Mereka adalah simbol dari keberagaman dan keseimbangan ekosistem, wujud nyata dari kebaikan alam Indonesia yang menghidupi semua makhluk di dalamnya. Namun, harmoni ini bukan sesuatu yang abadi jika tidak dijaga. Alam memberikan kebaikannya dengan tulus, tetapi manusia memiliki tanggung jawab untuk merawatnya.
Sebab, di sini, di rimba yang menjadi ini nadi bumi, keindahan bukan hanya tentang yang terlihat, tetapi juga tentang yang harus tetap ada, supaya ini tak berubah menjadi senandung yang berakhir dengan perpisahan.