Di surga Wisnuloka, para Dewa dan Dewi hidup dalam kedamaian. Namun, kedamaian itu terusik oleh kekhawatiran terhadap Balidwipa, kerajaan raksasa di bumi yang dipimpin oleh raja kejam, Kala Rau. Ia sangat kuat, ditakuti oleh manusia maupun para Dewa.
Kala Rau jatuh cinta pada Dewi Ratih, sang Dewi Bulan yang cantik dan bijaksana. Ia ingin menjadikannya ratu, tetapi Dewi Ratih menolak karena cinta sejati tidak bisa dipaksakan. Penolakan itu membuat Kala Rau murka. Ia bersumpah untuk membalas dendam dan menaklukkan Wisnuloka.
Mendengar bahwa para Dewa memiliki tirta amerta, air kehidupan yang memberi keabadian, Kala Rau menyamar sebagai Dewa dan menyelinap ke Wisnuloka. Ia berhasil meminum air suci itu, tetapi sebelum kekuatannya sempurna, Dewa Wisnu menebas lehernya dengan cakra. Tubuhnya hancur, namun kepalanya tetap hidup karena sudah sempat meneguk tirta amerta.
Kepala Kala Rau pun melayang di langit, dan dendamnya terhadap Dewi Ratih tidak pernah padam. Setiap kali ia melihat sang Dewi, ia berusaha menelannya. Namun, karena ia hanya kepala, Dewi Ratih selalu berhasil lolos, membuat bulan tampak gelap sesaat sebelum muncul kembali—itulah yang kita kenal sebagai gerhana bulan.
Hingga kini, setiap terjadi gerhana, manusia di bumi memukul lesung sebagai simbol untuk mengusir Kala Rau, agar ia melepaskan bulan dan membiarkan cahayanya kembali menerangi malam.
Cerita ini mengajarkan tentang kekuatan persatuan, kebijaksanaan, dan keberanian dalam menghadapi tantangan. Meskipun ancaman dari Kala Rau begitu besar dan menakutkan, Dewa Wisnu bersama para dewa lainnya menunjukkan betapa pentingnya kerja sama. Dengan memanfaatkan tirta amerta yang sakral, mereka mampu melindungi kerajaan dan menjaga keseimbangan.
Selain itu, kisah ini menegaskan bahwa keberanian dalam menghadapi bahaya adalah hal yang sangat berharga. Dalam situasi krisis, kebijaksanaan dan persatuan menjadi kunci utama untuk mencapai kemenangan dan menegakkan keadilan.