Senja menggantung di ufuk barat, mewarnai langit dengan semburat jingga dan biru tua yang berpadu bagai kisah lama yang terus diceritakan ulang. Angin berembus kencang, membawa bisikan dari samudra yang bergemuruh. Ombak menari dalam pola yang tidak biasa, bukan sekadar riak, melainkan ukiran takdir yang bergerak mengikuti alur waktu.
Di antara gejolak laut, seorang wanita melangkah dengan tekad yang tak tergoyahkan. Gaun hijaunya berkibar mengikuti arah angin, seolah menyatu dengan arus yang berputar liar di sekelilingnya. Selendang panjang yang melilit tubuhnya berkibar seperti tangan-tangan gaib yang menggenggam angin dan ombak, melambangkan hubungan erat antara dirinya dan lautan.
Matanya menatap jauh ke depan, menembus batas cakrawala yang berpendar dalam cahaya terakhir matahari. Ia bukan sekadar pelancong atau pengembara yang tersesat—ia adalah bagian dari lautan itu sendiri, satu dengan ombak yang berbisik, satu dengan angin yang bernyanyi.
Gelombang di sekitarnya berputar, membentuk lingkaran-lingkaran yang hampir menyerupai ukiran kuno—mungkin jejak dari sesuatu yang lebih tua dari waktu itu sendiri. Laut Selatan bukan sekadar hamparan air, tetapi rumah bagi rahasia yang telah lama terkubur dalam legenda.
Dengan langkah yang mantap, wanita itu melangkah ke depan, membelah gelombang seakan mengukir jalannya sendiri di antara arus takdir. Ombak yang mencoba menelan daratan kini mengikuti kehendaknya. Apakah ia datang untuk menantang lautan, atau justru untuk menyambut panggilannya?
Tak ada yang tahu pasti. Yang jelas, lautan mengenal namanya, dan angin mengakui keberadaannya.
Sebab ia bukan sekadar manusia biasa—ia adalah nyawa yang terhubung dengan samudra. Dan malam ini, Laut Selatan berbisik namanya dalam ombak yang tak pernah diam.