Di jantung Jawa Barat, terhampar sebuah kisah abadi—kisah tentang keserakahan yang mendatangkan bencana bagi banyak orang. Situ Bagendit, sebuah danau yang cantik yang menyimpan kisah tentang Nyi Bagendit, seorang wanita yang dulunya hidup dalam kemewahan namun kehilangan segalanya karena keserakahan.
Nyi Bagendit adalah janda kaya yang tinggal di sebuah desa dekat yang kini kita kenal dengan nama Situ Bagendit. Di masa jayanya, ia mengumpulkan kekayaan dan menyiksa tetangganya demi kepentingan pribadi. Ia sering menyombongkan kekayaannya dan memaksa para petani untuk memberikan lebih banyak padi dari yang bisa mereka hasilkan, menyebabkan kelaparan dan penderitaan. Kekayaannya yang melimpah tercermin dari ladang padi emas, tumpukan emas dan permata, serta hati yang tak pernah tersentuh oleh kebaikan. Namun, seperti alam yang memberinya kemakmuran, alam juga punya cara untuk menyeimbangkan keadaan.
Suatu hari, datang seorang pengemis tua yang hendak meminta makan. Bukannya menolong, Nyi Bagendit malah menyiram pengemis tua itu dengan air dan mengusirnya. Pengemis tua yang ternyata adalah jelemaan Dewi Sri Sang Penjaga Kesuburan, menancapkan sebuah tongkat di halaman rumah Nyi Bagendit dan mengutuknya. Saat Nyi Bagendit mencabut tongkat itu dari tanah, keluarlah air yang sangat deras hingga tak tertampung dan menenggelamkan Nyi Bagendit beserta seluruh kekayaannya. Konon katanya, Nyi Bagendit masih tinggal di tempat yang sekarang disebut Situ Bagendit dalam wujud kutukannya, yaitu lintah raksasa.