Jazmin Juwita L. Tobing

Di daerah Tapanuli, Dalihan Na Tolu dipercayai berasal dari Putri Nae Manggale. Alkisah, Seorang Raja di sebuah desa (huta) bernama Raja Panggana yang ahli dalam membuat patung. Suatu hari, Raja Panggana sebenarnya sedang memiliki banyak tugas, namun, Ia memutuskan untuk menyendiri di sebuah hutan untuk membuat sebuah patung. Di hutan, Raja Panggana menemukan sebuah pohon yang mencolok diantara yang lain. Raja Panggana pun bergegas mengeluarkan alat-alatnya dan mulai membuat sebuah patung menyerupai seorang wanita. Raja Panggana senang dengan patung tersebut dan mulai menortor bersama karyanya. Raja Panggana pun menaruh patung tersebut di depan rumahnya dan pergi meninggalkan patung tersebut.

Selanjutnya, seorang pedagang kain dan perhiasan, bernama Partiga-tigatiga, berjalan melewati patung tersebut. Namun, langkahnya terhenti sejenak untuk menikmati patung tersebut. Akhirnya, Bao Partigatiga, memakaikan kain dan perhiasan pada patung tersebut. Bao Parti-gatiga senang karena patung tersebut semakin terlihat bagus dan menyerupai seorang wanita. Lalu, Bao Parti-gatiga pun melanjutkan perjalanannya.

Tak berhenti disitu, Seorang dukun, bernama Datu Partawar, juga sama melewati patung tersebut. Datu Partawar, berhenti dan mulai memperhatikan patung tersebut. Datu Partawar mempunyai ide untuk menjadikan patung tersebut hidup layaknya wanita sungguhan. Datu Partawar mulai berdoa, merapalkan mantra dan memulai ritual untuk mengubah patung tersebut menjadi seorang wanita sungguhan. Doanya terkabul dan patung itu hidup layaknya manusia. Datu Partawar senang dan memberinya nama “Putri Nae Manggale”, lalu membawanya ke rumah.

Seiring berjalannya waktu, terdengar desas-desus warga desa tentang kecantikan dari Nae Manggale. Banyak lelaki muda yang datang untuk melamarnya. Namun, desas-desus tersebut juga didengar oleh Raja Panggana dan Bao Partigatiga. Mereka berdua kesal karena menganggap mereka berhak untuk memiliki Putri Nae Manggale. Mereka bergegas mendatangi rumah Datu Partawar. Mereka mulai berargumen siapa yang lebih berhak memiliki Putri Nae Manggale. Datu Partawar pun memberi saran untuk melakukan musyawarah. Dari musyawarah tersebut, disepakati sebuah hasil, Raja Panggana akan menjadi SUHUT (ayah) karena Ia, yang memahat Putri Nae Manggale. Bao Parti-gatiga akan menjadi BORU (Amangboru) karena Ia, yang memberikan pakaian serta perhiasan kepada Putri Nae Manggale. Dan Datu Partawar menjadi HULA-HULA (Tulang), karena Ia yang memberikan berkat sehingga Putri Nae Manggale menjadi hidup.

Dari Legenda itu, tercipta lah Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu atau Tungku Tiga Kaki merepresentasikan 3 peran tersebut yakni Suhut, Boru dan Hula-Hula. Dimana, baik suka dan duka, tiga peran itu harus berjalan beriringan layaknya tungku yang memiliki tiga kaki, jika salah satu tidak menjalankan perannya, maka akan terjadi ketimpangan. Sampai sekarang, suku Batak masih menjunjung tinggi filosofi tersebut.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top