Kisah cinta Sinta dan Rama pastinya sudah tak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia, namun bagaimana kisah cinta Rahwana dan Sinta? Kita kerap mendengarnya sebagai sastra lisan, cerita turun-temurun dari para pendahulu.
Selama ini, kita menerima kisah itu sebagaimana anggapan umum yang beredar di masyarakat. Rahwana adalah si antagonis yang memaksakan cintanya kepada Sinta.
Namun, apa benar ceritanya seperti itu? Atau mungkin ada sesuatu yang sejarah sembunyikan?
Rahwana digambarkan sebagai sosok yang menculik Sinta, namun banyak juga yang berpendapat bahwa Rahwana tidak pernah menyentuh atau menodai Sinta, bahkan memuliakannya di istananya dan dijadikan bak ratu yang mulia.
Rahwana yang berani memperjuangkan Shinta, hingga rela mati bersama Alengka yang terbakar. Bukanlah Rama yang mengirim pasukan kera dan meragkan kesucian Shinta hingga melakukan sumpah obong.
Rahwana adalah gambaran tulusnya cinta hanya saja dia bukanlah pemeran utama, dia hanya ingin mencintai namun takdir begitu jahat mempermainkan cintanya.
“Aku tak peduli kamu bekas pelukan siapa,
Aku tetap mencintaimu sampai akhr, Shinta”
_Rahwana_
“ aku mencintai tanpa berfikir bagaimana jika takdirku adalah kehilanganmu”
_Rahwana_
Rama adalah lambang ketampanan, tapi Rahwana adalah lambang ketulusan.
Harmoni alam dan warisan budaya adalah prinsip hidup berdampingan secara damai dan menyeluruh antara manusia, alam dan budayanya. Harmoni alam dan budaya dapat dicapai dengan menjaga keseimbangan peran manusia sebagai bagian dari alam semesta beserta isinya.
Bukti ketulusan, kemurnian dan keaslian dalamnya perasaan Rahwana selaras dan harmoni bagai keaslian alam, keragaman hayati kekayaan alam yang tumbuh dan kembang subur, asri di Bumi Pertiwi tempat Rahwana lenyap menjadi abu di Alengka.