Di tepi Sungai Musi, sebuah kapal dagang membawa seorang saudagar muda bernama Tan Bun An. Ia adalah seorang pemuda Tionghoa kaya raya yang datang ke Palembang untuk berdagang. Dalam perjalanannya, ia jatuh cinta pada Siti Fatimah, seorang gadis pribumi yang cantik dan berbudi luhur. Cinta mereka bersemi, hingga Tan Bun An melamar Siti Fatimah. Restu pun datang dari ibu Siti Fatimah, yang kemudian memberikan tujuh guci sebagai hadiah pernikahan. Kemudian, dibukalah tujuh guci dari atas kapalnya. Berharap menemukan harta berharga, sampai guci keenam pun yang ia temukan hanyalah sayur sawi di dalamnya. Merasa dipermainkan dan kecewa, ia melempar guci-guci itu satu per satu ke sungai. Hingga saat guci ketujuh terhempas ke udara, pantulan emas berkilauan muncul dari dalamnya.
Didorong oleh keserakahan dan kepanikan, Tan Bun An tanpa ragu melompat ke Sungai Musi, berusaha meraih emas-emas yang berhamburan di Sungai Musi. Dari atas kapal, Siti Fatimah menyaksikan kekasihnya ditelan oleh arus sungai yang deras. Tanpa berpikir panjang, ia pun menyusul Tan Bun An dalam arus yang tak terduga. Serpihan porselen berhamburan di atas air, menjadi saksi bisu kisah cinta yang berakhir di dasar Musi. Sejak saat itu, muncullah Pulau Kemaro, yang konon terbentuk dari tempat tenggelamnya mereka, sebagai tanda cinta yang abadi.
Kisah dari kedua insan ini, mencerminkan wajah asli kebaikan Indonesia melalui nilai-nilai ketulusan, kepercayaan, dan konsekuensi dari keserakahan. Lewat cerita asli dari Palembang ini, menunjukkan bahwa kebaikan sejati bukan diukur dari harta, tetapi dari ketulusan hati dan kebijaksanaan dalam menyikapi hidup. Pulau Kemaro kini menjadi simbol warisan budaya, mengingatkan kita bahwa nilai-nilai luhur dari cerita rakyat Indonesia tetap relevan sepanjang zaman.