Yasinta Mutia Isnaeni

Ilustrasi ini terinspirasi dari kisah pergerakan masyarakat adat Mollo di Nusa Tenggara Timur dalam melawan para penambang marmer selama tiga belas tahun. Mama Aleta adalah tetua yang memimpin pergerakan ini. Kisah pergerakan ini diabadikan seutuhnya di dalam lagu yang berjudul “Suara Dunia” yang ditulis dan dinyanyikan sendiri oleh Sandrayati Fay.

Pada tahun 1980, pemerintah mengeluarkan izin untuk perusahaan menambang di wilayah Gunung Mutis, Nusa Tenggara Timur, tetapi sayangnya masyarakat setempat tidak diberi tahu. Gunung Mutis merupakan hulu untuk semua aliran sungai utama di wilayah Timor Barat. Dengan kata lain, Gunung Mutis adalah sumber kehidupan bagi masyarakat Mollo. Dampak dari penambangan marmer bagi masyarakat Mollo adalah sungai-sungai yang dimanfaatkan untuk minum dan irigasi mulai mengeruh, lalu terjadi bencana longsor dan banjir. Melihat dampaknya yang begitu serius, Mama Aleta tergerak untuk melakukan ‘perlawanan’ untuk mengusir perusahaan tambang tersebut.

Pada tahun ’90-an, Mama Aleta mulai menggerakkan perempuan-perempuan desa. Pergerakan tersebut Mama Aleta lakukan di malam hari untuk menghindari preman-preman yang sudah dibayar oleh perusahaan tambang. Tidak tanggung-tanggung, Mama Aleta harus berjalan selama 6 jam untuk menjamah antar desa satu dengan yang lainnya. Akhirnya, terkumpul-lah 150 perempuan yang ikut dalam pergerakan Mama Aleta. Dalam pergerakannya ini, Mama Aleta bahkan sempat menerima ancaman pembunuhan.

Aksi protes dilakukan dengan menenun di atas batu. Pergerakan ini konsisten dilakukan selama tiga belas tahun, hingga akhirnya pada tahun 2007, empat perusahaan tambang hengkang dari Gunung Mutis. Karena kegigihannya dalam melawan tambang, Mama Aleta akhirnya mendapatkan penghargaan berupa : The Goldman Environmental Prize Award 2013, Saparinah Sadli Award 2007, Anak Flobamora Award 2014, dan yang lainnya.

Di dalam kebudayaan Mollo, alam merupakan warisan tertinggi yang diwariskan turun temurun kepada anak cucu … karena masyarakat Mollo menganggap bahwa alam adalah tubuhnya sendiri. Masyarakat Mollo sendiri memiliki 4 filosofi penting yang berbunyi Oel fani on na’ (air adalah darah), Nasi fani on nafua (pepohonan adalah rambut), Afu fani on nesa (tanah adalah daging), Fatu fani on naif (batu adalah tulang). Saking kuatnya keinginan untuk tidak merusak alam, Masyarakat Mollo hanya menjual hasil produksi buatan manusia, mereka tidak mau menjual bahan mentah yang didapat langsung dari alam.

“Apa yang akan terjadi kalau lupakan hubungan ini?” salah satu kutipan lirik Suara Dunia yang dinyanyikan oleh Sandrayati Fay.

Belajar dari kebaikan Mama Aleta dan masyarakat Mollo : Menjaga alam sama pentingnya dengan menjaga tubuh sendiri. Jika salah satu bagian tubuh terasa sakit, maka bagian yang lain akan merasakan sakitnya juga. Dengan begitu, kita bisa menganggap bahwa manusia dan alam adalah satu kesatuan.

Inilah salah satu cerita tentang kebaikan pemuda-pemudi Indonesia : Mama Aleta, masyarakat Mollo, dan kegigihannya dalam melestarikan alam.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top