Masih banyak yang belum mengenal naskah klasik “La Galigo” yang merupakan sebuah karya sastra terpanjang di dunia. Sebuah karya sastra yang berisi epik mitos penciptaan manusia pertama di suku Bugis. Di tulis sekitar abad ke-14 dalam bentuk puisi bersuku lima aksara lontara, terdiri dari 6000 halaman atau 300.000 baris puisi, mengalahkan karya sastra klasik dari India “Mahabarata dan Ramayana”. Karya sastra ini telah tercatat sebagai “Memory of the World” dalam bentuk pusaka dokumenter (documentary heritage) oleh UNESCO pada tahun 2004.
Naskah Lontara La Galigo mengandung nilai-nilai moral yang sangat relevan dengan kehidupan tiap generasi dan mengandung pesan simbolik dalam setiap narasi. Lebih jauh lagi, La Galigo mengajarkan nilai-nilai budaya di antaranya: nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan masyarakat, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
Tokoh utama dalam naskah La Galigo adalah Sawerigading, ayah dari La Galigo. Sawerigading merupakan cucu dari Batara Guru—raja sekaligus manusia pertama yang turun di daerah Luwu. Sawerigading merupakan seorang pengelana yang teguh pada pendiriannya, pemberani, dan memiliki tekad yang sangat kuat. Ia berkelana dengan kapalnya, berlabuh dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya. Di masa tuanya, ia pergi berlayar dan bercita-cita untuk mengelilingi dunia. Keinginan itu tidak sempat terwujud, konon Sawerigading dan istrinya dihempas ombak besar dan menjadi penguasa bawah (laut). Namun pada akhirnya, ia menjadi alasan tersebarnya keturunan-keturunan Bugis di berbagai wilayah.
Meski banyak yang mempercayai bahwa tokoh Sawerigading merupakan mitos belaka, tapi tidak sedikit juga yang meyakini bahwa Sawerigading memang pernah hidup di dunia, terutama masyarakat daerah Sulawesi Tengah.