Di tengah samudra luas, Sawerigading, sang pahlawan epik dari La Galigo, berdiri gagah di atas kapal Phinisi yang diterpa angin kencang dan gelombang bergulung. Tombak Dwisula Sorong Leka, senjata legendaris yang diwariskan oleh leluhur, tergenggam erat di tangannya. Di pinggangnya terselip Badik Raja, simbol kehormatan dan kekuatan seorang pejuang Bugis, sementara tangan kirinya mengangkat perisai Kanna, yang dihias ukiran khas Sulawesi Selatan, memancarkan keberanian dan kekuatan.
Di hadapannya, seekor naga laut raksasa, penjaga gerbang menuju kerajaan laut, mengaum dengan gemuruh yang mengguncang langit. Sisiknya berkilauan seperti kristal hijau di bawah kilatan petir, dan matanya menyala dengan kemarahan. Dengan setiap gerakan, naga itu mengguncang kapal, mencoba menenggelamkan pahlawan yang berani menantang kekuasaannya.
Sawerigading tidak gentar. Ia tahu bahwa di balik rintangan besar ini, ada takdir yang harus ia jalani, dan membawa kehormatan bagi tanah Bugis. Dengan semangat pantang menyerah, ia memimpin serangan dengan tombak dwisula, menangkis serangan dengan perisai Kanna, dan memanfaatkan kelincahan kapal Phinisi untuk menghindari serangan mematikan dari naga laut.
Pertarungan antara manusia dan naga menjadi simbol kekuatan tekad melawan kekuasaan alam yang dahsyat. Di atas ombak yang ganas, legenda Sawerigading lahir, membawa pesan keberanian dan cinta yang abadi.