Kebaikan generasi muda Indonesia tercermin dalam tradisi Pangayah, sebuah praktik di mana pemuda-pemudi membantu membawa sesaji atau persembahan ke candi dalam ritual keagamaan. Tradisi ini terutama terlihat dalam perayaan Waisak, hari suci umat Buddha yang memperingati kelahiran, pencerahan, dan wafat Sang Buddha. Pada momen sakral ini, anak muda turut serta mengantarkan persembahan seperti makanan, bunga, dupa, dan simbol-simbol kebajikan lainnya ke candi. Aktivitas ini tidak hanya menjadi bagian dari prosesi ritual, tetapi juga merefleksikan semangat gotong royong dan kesadaran generasi muda untuk melestarikan warisan budaya leluhur.
Dalam konteks budaya Jawa dan ajaran Buddha, partisipasi mereka dikenal sebagai Abdi Dhamma atau Pangayah yakni istilah yang merujuk pada individu yang mengabdi tanpa pamrih dalam ritual adat atau keagamaan. Abdi Dhamma (pelayan Dharma) menekankan pengabdian pada nilai-nilai kebenaran universal, sementara Pangayah dalam budaya Jawa mencerminkan sikap rendah hati untuk membantu masyarakat atau keluarga dalam acara sakral. Keduanya bersinergi sebagai wujud dharma (kewajiban suci) dan bakti kepada orang tua, leluhur, serta Sang Pencipta.
Partisipasi generasi muda dalam tradisi ini memiliki makna spiritual yang mendalam. Dengan terlibat dalam persiapan hingga pelaksanaan ritual, mereka tidak hanya menghormati nilai-nilai religius, tetapi juga menginternalisasi ajaran tentang karma (sebab-akibat) dan kebijaksanaan kolektif. Bagi masyarakat Jawa, sikap ini sekaligus menjadi media pendidikan karakter, di mana kesabaran, kerendahan hati, dan rasa tanggung jawab dipupuk melalui tindakan nyata.
Dengan demikian, Pangayah bukan sekadar aktivitas fisik, melainkan ritual hidup yang mengikat generasi muda dengan akar budaya, spiritualitas, dan nilai-nilai kemanusiaan. Tradisi ini menjadi bukti bahwa semangat gotong royong dan penghormatan pada tradisi tetap lestari, bahkan dalam dinamika zaman modern.