Novia Kurniasari

Di lereng Gunung Lawu, hiduplah sepasang suami istri yang sederhana, Kyai Pasir dan Nyai Pasir. Mereka adalah petani yang bekerja keras, hidup damai di tengah alam yang subur. Namun, suatu hari, kehidupan mereka berubah ketika mereka menemukan sebuah telur raksasa yang bersinar keemasan di tengah hutan.

Dengan rasa penasaran, Kyai Pasir membawa pulang telur itu. Lapar setelah seharian bekerja, mereka pun memutuskan untuk memasaknya. Namun, begitu telur itu dipecahkan dan dimasak, terjadi hal yang mengejutkan. Tubuh mereka perlahan berubah—kulit mereka mengeras, mata mereka bersinar tajam, dan tangan mereka memanjang menjadi cakar. Mereka telah berubah menjadi dua naga yang besar dan gagah!

Tak dapat mengendalikan diri, kedua naga itu meronta-ronta, membuat tanah bergetar dan mengeluarkan air yang semakin lama semakin meluas, membentuk sebuah telaga yang dalam. Dalam sekejap, desa yang dulu mereka tinggali tenggelam oleh air yang terus mengalir. Telaga itu kemudian dikenal sebagai Telaga Sarangan, dan masyarakat sekitar percaya bahwa dua naga tersebut masih menjaga telaga hingga kini.

Legenda Telaga Sarangan mengajarkan bahwa keserakahan dapat membawa petaka, seperti yang dialami Kyai Pasir dan Nyai Pasir ketika mereka tanpa sadar melanggar keseimbangan alam dan berubah menjadi naga. Kisah ini juga menggambarkan bahwa manusia harus hidup selaras dengan alam serta menerima takdir dengan bijaksana. Pada akhirnya, pengorbanan mereka menciptakan telaga yang menjadi sumber kehidupan bagi banyak makhluk, mengajarkan bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi dan bahwa kebaikan dapat lahir dari kebijaksanaan dalam menghadapi perubahan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top